Antara KAMMI dan P**

Ini mengenai da’wah yang sudah seharusnya tertanam di jiwa setiap mukmin. Itulah yang membedakan ummat Muhammad dengan ummat sebelum beliau. Kewajiban da’wah sebelum datangnya Nabi Muhammad, hanya diberikan kepada Nabi-nabi dikalangan ummatnya, dan tidak terhadap ummatnya.
 
 Dengan kewajiban da’wah ini saya harus mengambil peran dalam 3 jama’ah da’wah sekaligus yang tidak mungkin saya tinggalkan salah satunya. Ya, jamaah itu bernama P** (Justice and Prosperous Party/Hizb al-'Adalah wa al-Rofahiyyah), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Persyarikatan Muhammadiyah. Tidak ada yang lebih rendah maupun lebih tinggi kedudukannya bagi saya.

Saya sempat kaget ketika ada beberapa ikhwah yang menghadiri muktamar KAMMI yang digelar di Tangerang padahal di daerahnya sedang terjadi perang ideologi, pemilu, sarana yang diharapkan mampu mendudukkan pemimpin yang kapabel nan relijius agar dapat menjadi seorang penelur kebijakan yang pro-Islam, amanah dan dipercaya mampu memberikan perubahan. Padahal hampir semua kader tahu bahwa kemenangan yang dicitakan masih belum tampak, bahkan survey terakhir calon yang didukung hanya menempati posisi ke-2, dan masih perlu kerja keras untuk memenangkan da’wah.

Saya agak menyayangkan ikhwah tersebut yang kurang begitu bisa memilih prioritas dan urgensitas sebuah kegiatan. Ketika ikhwah di PK* begitu keteteran karena kekurangan personil dalam agenda konsolidasi dan Direct Selling yang masih luas daerah objek da’wah yang belum terjangkau. Beberapa ikhwah malah meghadiri agenda muktamar KAMMI yang perannya dalam membangun bangsa kedepan masih agak samar. Toh, saya yakin, maju atau tidaknya KAMMI tidak akan memiliki pengaruh apapun terhadap kebijakan pemerintahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan kehadiran KAMMI –bagi sebagian orang- hampir tidak dirasakan manfaatnya secara langsung dalam lingkup nasional.

Sedangkan PK* merupakan organisasi politik intra parlemen sehingga kehadirannya mampu mewarnai perpolitikan nasional secara langsung. Ini berbeda dibandingkan KAMMI yang bergerak secara ekstra parlementer. Oleh karena itu, sebagai kader KAMMI, kita seharusnya faham kalau kepentingan ummat secara nasional haruslah diprioritaskan dan diperjuangkan. Muktamar KAMMI hanya sekedar seremonial berkala yang memiliki tujuan utama yaitu memilih pemimpin KAMMI. Toh, bukankah kader KAMMI akan tetap memiliki prinsip tsiqoh siapapun ketuanya. Bukankan semua calon ketua KAMMI merupakan seorang muslim yang kualitas keimanannya serta keilmuannya tidak perlu diragukan lagi? Saya rasa, kita tidak perlu menbuang-buang tenaga hanya untuk mengurusi organisasi ‘ikhwah’ yang komitmennya terhadap da’wah tidak perlu diragukan lagi.

Disisi lain, kader KAMMI ada yang terpancing untuk menjadi tim sukses salah satu calon ketua KAMMI, yang didasarkan karena persamaan KAMDA atau KAMWIL saja. Bahkan tanpa memperhitungkan sisi kualitas keilmuan dan kapasitas keislaman seorang calon ketua. Padahal diluar sana, tokoh ikhwah yang –insya Alloh- bisa mengubah wajah kota sedang berjuang memenangkan pemilu. Jika tokoh yang didukung PK* ini gagal menang, maka perkembangan da’wah akan semakin stagnan, bahkan bisa jadi akan mundur. Memenangkan da’wah ini tidak hanya membutuhkan figure semata, tetapi juga totalitas dan komitmen bersama untuk menegakkan Islam. Bagi saya, ini jauh lebih real daripada kader yang hanya sebagai KAMMI sentries. Mengikuti semua kegiatan KAMMI baik itu kegiatan departemen Human, pengmasy, kaderisasi, KP dll tetapi melupakan urgensi dan tujuan berdirinya KAMMI sebagai corong pembentukan Indonesia yang madani. Mari kembali kita kaji materi fiqh prioritas, urgensi tarbiyah, manhaj haroky, ataupun risalah pergerakan.

Memang ranah kampus wajib disentuh juga, dalam hal ini KAMMI yang bermain mengingat partai tidak bisa merambah ranah ini. Dan ranah kampus sudah seharusnya menjadi masa percobaan bagi setiap kader KAMMI sebelum kelak terjun ke masyarakat. Di KAMMI, kita mendapatkan bekal untuk menjadi muslim negarawan yang diharapkan mampu kita aplikasikan setelah kembali ke masyarakat dengan meninggalkan manisnya dunia kampus dan dunia jalanan. Inilah yang menjadi sebab saya belum bisa lepas dengan KAMMI.

Memang, aktif di kedua organisasi tersebut juga harus pintar-pintar menempatkan diri, saya adalah kader KAMMI, namun disisi lain saya juga simpatisan P**. Dan begitulah kader KAMMI, mereka tetap KAMMI, namun saya yakin mereka juga menjadi simpatisan P**. Tak ada masalah, tak ada pertentangan, prinsip KAMMI adalah 'kebathilan adalah musuh abadi KAMMI' sedangkan di P** slogan yang biasa dipakai adalah 'Bekerja Untuk Indonesia'. Bagi saya, KAMMI bukanlah underbow P** tapi juga bukan berarti independen. PK* dan KAMMI selalu berpihak kepada al-Haqq. Dan sebuah kemustahilan jika mengatakan al-Haqq ketika di P** dan mengatakan hal yang berlawanan ketika di KAMMI.

KAMMI tetaplah seperti itu dan P** juga seperti itu. Dan dimanapun kader-kader mereka berpijak, niscaya da'wah selalu menjadi orientasi utama.