Kembali Menjadi Minoritas


InsyaAlloh saya tahun ini akan memulai romadhon pada tanggal 1 Romadhon 1434 H (Hilal sudah diatas ufuk saat tenggelamnya matahari tanggal 8 Juli) bertepatan dengan 9 Juli 213. Dan teguh pada keputusan Muhammadiyah berarti harus siap menjadi minortas.


Tinggal di kota dimana Muhammadiyah menjadi minoritas memang sulit, disisi lain kita merasa tidak enak karena harus puasa duluan,sedangkan disisi lain kita harus teguh dengan jama'ah dan keyaqinan yang menurut saya itu benar (kebenaran ini menurut saya dan tidak dipaksakan ke orang lain).

Saya akan tetap bangga akan keberadaan saya sebagai minoritas ditengah mayoritas yang kadang mengabaikan kaum minoritas. Saya akan tunjukkan keteguhan hati ini memegang suatu hal yang diyakini kebenarannya. Mungkin akan kukatakan, "ya saya sudah mulai puasa hari ini, silahkan anda puasa mengikuti ulil amri anda, dan saya akan tetap memulai puasa hari ini. Ada masalah?"

Harus diakui bahwa sangat berat menjadi minoritas, menjadi berbeda dengan yang lain. Tak hanya sekali, pernah suatu ketika dalam suatu forum hanya saya yang tidak bisa bahasa setempat, dan itu sangat berat, dianggap aneh, dianggap paling berbeda, dianggap menyalahi adat, tapi saya tidak akan ambil pusing. Suatu ketika saya harus kembali dihadapkan dalam kondisi minoritas. Di suatu forum dimana ideologi (orang biasa menyebut ideologi ala ikhwah) harus diperjuangkan. Banyak godaan untuk melepaskan ideologi yang sudah susah payah tertanam dalam hati. Namun, inilah idealisme, inilah keyakinan yang menurut saya benar dan layak untuk diperjuangkan. Saya tidak peduli meskipun harus berbeda dengan yang lainnya. What ever with what they said.

Bahkan saya pernah harus berbeda dan menjadi minoritas dikalangan aktivis ngaji. Berbeda dalam menyikapi fiqh, muamalah bahkan dalam hal 'ibadah. Namun sekali lagi ini tentang kebenaran dan keyakinan yang seorang pun tidak bisa mengganggu gugat. Bahkan dalam suatu kejadian saya dipaksa untuk menanggalkan atribut organisasi, saya bersedia jika organisasi tersebut sudah tidak bisa mengakomodir sesuatu yang teguh saya yakini. Bahkan karena alasan tersebut saya tidak mau -dan tidak akan pernah mau- menyebut diri ini bagian dari 'ikhwah'. Ketaatan kepada jama'ah tidak boleh memberangus keyakinan akan kebenaran yang diyakini.

Saya Muhammadiyah, dan saya berpegang teguh dengan ajarannya. Tentu saja berada dalam kultur non Muhammadiyah akan memunculkan beberapa perbedaan. Terutama dalam masalah fiqh dan beberapa hukm. Namun, sebagai muslim yang disatukan dalam kalimat tauhid saya tidak akan menonjolkan perbedaan tetapi kesepakatan dalam hal-hal yang disetujui bersama. Kecuali jika ada hal-hal yang bisa merusak kebersamaan maka saya akan membela jama'ah yang saya pegang. Dalam penentuan 1 Romadhon misalnya, saya tidak mempermasalahkan mereka akan menggunakan kriteria imkanurru'yah maupun wujudul hilal, yang penting mereka bergembira menyambut romadhon tanpa memaksakan pendapat mereka itu cukup. Dalam bertarawih, silahkan mau 23 roka'at maupun 11 Roka'at, keduanya memiliki argumen kuat, yang menjadi masalah jika mempersoalkan jumlah roka'at namun dia sendiri malah tidak ikut bertarawih. 

Tidak hanya dalam hal religiusitas, saya pro-oren dan mereka pro-biru. Saya bangga akan keberpihakan saya pada oren. Hidup dikalangan pro-biru tidak akan pernah bisa melunturkan kecenderungan ini untuk tetap berwarna oren.

Menjadi minoritas berarti belajar memegang teguh keyakinan akan kebenaran. Menjadi minoritas berarti belajar bertoleransi ketika kita menjadi mayoritas. Berpegang teguh pada ajaran Muhammadiyah berarti siap berpuasa lebih awal ketika jamaah lain masih bisa menikmati dinginnya es buat dan hangatnya nasi dengan lauk ayam goreng. 

Dengan gaya tegas meyakinkan saya akan berkata, bagi saya sekarang sudah masuk 1 romadhon, saya sudah mulai puasa, silahkan makan saja rotinya. Saya tidak mau.

‎#tapi jangan dihabiskan ya, sisakan untukku buat nanti berbuka.