PSS Sleman dengan Manajemen yang Kacau

Ini tentang kepeduilan kita kepada tim kebanggaan kita.
Kami berontak, kami melawan, kami mengkritik. Itu karena kami peduli.
Berbicara tentang PSS, apa sich yang kurang dari PSS? Stadion sudah kelas internasional, bahkan menjadi satu-satunya stadion sepakbola kelas internasional di Indonesia. Ingat, salah satu cirri stadion sepakbola adalah tidak ada sirkuit atletik di sekeliling lapangan. Mungkin mirip stadion yang dipakai di Liga Inggris. Coba?
Mana ada stadion sepakbola lain di Indonesia yang kelasnya melebihi MIS? Gelora Bung Karno, Gelora Gede Bage –stadion baru Persib, Gelora Sriwijaya, semuanya stadion olahraga, bukan stadion sepakbola.

Stadion sudah OK, lalu tentang potensi daerah. Sleman memiliki segudang potensi menjadi kabupaten terbaik. Mengenai bencana, bukankah Sleman layak disebut sebagai kabupaten dengan respon cepat terhadap bencana. Masalah merapi segera rampung tanpa ada masalah dikemudian hari. Lalu, sleman dikenal sebagai gudangnya universitas berkelas, dalam hal ini kita bisa meninjau dari gelar Jogja sebagai kota pelajar. Kenapa bukan Sleman? padahal UGM, UNY, UIN Sunan Kalijaga, UII, UTY, Amikom, semua itu letaknya di kabupaten Sleman. Ribuan mahasiswa mencari ilmu di tanah ini dan kembali ke daerahnya masing-masing untuk kembali berkarya untuh daerah mereka. Berapa banyak alumni Sleman yang telah menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.

Stadion OK, potensi daerah OK, PSS juga memiliki supporter fanatik yang kini menjadi supporter sekaligus sponsor PSS. Mereka adalah Brigata Curva Sud PSS 1976 dan Slemania. Tahukah bahwa mereka yang katanya ndeso namun memiliki militansi yang luar biasa. Slemania sejak dahulu dikenal atraktif dan setia membersamai PSS dalam tur ke berbagai daerah, ngalor, ngidul, ngulon, ngetan. Puncaknya Slemania sempat menyabet gelar supporter terbaik dalam sebuah penghargaan yang diberikan oleh salah satu stasiun TV swasta tahun 2004 lalu. Lalu bagaimana dengan Brigata Curva Sud PSS 1976 (BCS)? Prestasinya tak kalah hebat walaupun notabene anak baru dalam persuporteran Sleman, mulai terdengar namanya pada musim 2011, namun tak butuh waktu lama untuk mendunia, hanya 2 tahun BCS menjadi top 10 best ultras periode 15-24 April 2013 berdasarkan rilis dari World Ultras.

Kemilitanan fans Sleman ini yang menjadikan PSS besar, merekalah sumber utama pendanaan klub. Sponsor di dada pemain ‘No Ticket No Game’ adalah bukti keloyalan public Sleman. Belum lagi BCS yang membeli a-board iklan di tepi lapangan. Sekarang, mana ada supporter di Indonesia yang menjadi supporter sekaligus sponsor dan membeli aboard tim kebanggaannya sendiri. Pendapatan tiket 300an juta per match mejadi bukti shohih loyaitas public sleman dalam mendukung PSS. Pendapatan sebanyak ini tentu saja membuat tim-tim kasta utama menjadi malu terhadap PSS yang berada di kasta kedua IPL. Bayaknya pemain yang tiidak bisa gajian, banyaknya petandingan WO, banyaknya klub mundur dari liga menjadi gambaran ketidak profesionalan klub tersebut. Dan anehnya, klub tersebut masih saja dipersilahkan ikut kompetisi oleh operator liga yang katanya professional.

Itu beberapa sisi positif Tim Elang Jawa yang siap mengangkasa. Namun, ada sedikit kegetiran yang dirasakan public Sleman mengenai PSS yang tidak seindah harapan awalnya.

Diawali dengan musim lalu manajemen PSS memilih operator liga yang tidak berpengalaman mengurus liga sekelas nasional, LPI. Akibatnya fatal, PSS kehilangan kesempatan untuk mempromosikan dirinya di kancah nasional melalui siaran langung TV. Ini bukan masalah ego untuk masuk TV tapi ini adalah masalah tentang promosi Sleman. Bukankan salah satu tujuan berdirinya PSS adalah mempromosikan daerah terpencil bernama Sleman. Otomatis, tanpa adanya siaran TV bagi PSS, kesempatan mempromosikan Sleman menjadi berkurang yang berakibat pada kurang bergairahnya iklim investasi di Sleman. Sebagai perbandingan, mungkin sebelum ada Persiwa, siapa yang tahu daerah bernama Wamena, atau daerah bernama Raja Ampat? Karena tim Persiwa dan Persiram lah nama daerah mereka menjadi terangkat, Kedua tim ini hampir selalu diekspos keberadaannya dan ditayangkan live oleh stasiun TV yang juga menjadi ajang promosi daerah secara gratis. Dan ini jelas membuat iklim investasi di kedua daerah itu menjadi berkembang. Lalu bagaimana dengan Sleman? Tampaknya jajaran manajemen PSS gagal memilih tempat yang memberikan kesempatan bagi Sleman untuk dikenal. Bayangkan jika akhir-akhir ini PSS tampil di liga Indonesia yang dioperatori oleh PT LI, maka citra Sleman sebagai tempat pembunuhan sadis LP Cebongan sedikit tertutupi oleh prestasi PSS dan keatraktifan suporternya. Namun sekali lagi, hal ini menjadi sekedar khayalan dikarenakan kesalahan manajemen PSS memilih liga.

Mari kita lihat internal PSS, manajemen sempat mengecewakan pubilik Sleman dengan memilih pelatih berdasaran pertimbangan harga murah, bukan pertimbangan kualitas. Akibatnya PSS sempat kalah dikandang sendiri keika beruji coba pra musim melawan Persisko Jambi. Kegagalan manajemen PSS dalam memagari pelatih juga membuat PSS kehilangan pelatih musim lalu, Widiyantoro yang sukses mengorbitkan pemain muda asli tanpa pemain bintang dan menerapkan gaya permainan menyerang yang atraktif. Walaupun gagal promosi ke IPL namun gaya kepelatihan om Wiwid diapresiasi public Sleman. Hengkangnya beliau ke tim tetangga juga disebabkan ketidakpastian nasib beliau di PSS. Manajemen gagal menjaga asset terbaiknya yang telah mengorbitka pemain muda Sleman. Manajemen kembali gagal dalam menjaga pemain yang dicintai public Sleman. Hengkangnya kapten PSS muslim lalu menjadi bukti, belum lagi pemain berjiwa loyal seperti Agus Purwoko yang berharap ingin pensiun di PSS malah dibuang secara tidak hormat. Lalu kegagalan memagari pemain potensial seperti Andrid dan Tri Handoko yang kini malah bersinar di klub tetangga.

Memang sampai pertandingan keempat PSS masih perkasa di puncak klasemen dengan nilai sempurna. Tapi dengan materi sekelas PSS dan dukungan maksimal public Sleman PSS gagal menyuguhkan permainan yang menghibur public Sleman. Menang hanya 1-0, 3-2, 2-0 dirasakan tidak sebanding dengan mareti pemain sekelas Noh Alamshah, Juan Revi, Aji Saka, Waluyo, Abda Ali dsb. Belum lagi kegagalan pemain top menemukan performa terbaik mereka.

Terakhir, public Sleman kembali dibodohi oleh Penyelenggara kompetisi tentang gagalnya pertandingan melawan Persifa. PSS memilih WO karena sulitnya mendapat tiket. Sebenarnya opsi menunda jadwal bisa menjadi solusi dengan catatan disampaikan minimal 2 minggu sebelumnya ke operator liga. Dalam hal ini manajemen kembali terlihat gerak lambatnya sehingga permintaan penundaan jadwal pertandingan terlambat disampaikan. Akibatnya jelas, PSS kalah WO, suatu aib yang sampai saat ini belum pernah terjadi di PSS.

PSS milik rakyat Sleman, maka biarkanlah Sleman memilih yang terbaik buat PSS. Jangan kotori PSS dengan orang-orang yang tidak mencintai PSS dengan segenap hatinya. Jangan berikan PSS kepada orang yang memiliki kepentingan didalamnya. Pesan khusus saya kepada manajemen PSS -meminjam syiarnya Muhammadiyah-: “Hidup-hidupilah PSS, Janganlah mencari kehidupan di PSS”.


#Maaf ini bukan mengecam satu pihak tetapi menjadi bahan instrospeksi bersama, dan ini tulus dari pecinta PSS yang ingin tim kesayangannya kembali mengangkasa.

(tulisan saya sendiri yang dimuat di Fans Page: Super Elja Fans 1976