Ketika 'Ustadz' Jadi Penghalang

Ini bukan membicarakan sikap seorang ustadz, tapi ini merupakan ungkapan ketidaksetujuan terhadap pendapat beliau. Karena Imam Syafi’iy juga memiliki madzhab tersendiri yang berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah. Yang saya kritisi disini memang bukan ‘ustadz’ saya, tapi apa yang beliau sampaikan tersampaikan juga ke saya melalui salah satu –maksudnya salah dua- binaan beliau. Disarikan dari obrolan malam hari 2 Mei 2013 kemarin.

Beliau (ustadz ini) pernah berkata bahwa sebenarnya dia malu untuk mencarikan jodoh bagi binaan-binaannya yang –menurutnya- masih belum cukup ilmu. Tersarikan dari perkataan beliau yang ditirukan oleh salah seorang binaannya, “Kalau antum hafal al-Quran juga cuman 1 juz, penghasian juga masih minim, tidak ada prestasi –baik akademik maupun dalam ‘ibadah- yang bisa dibanggakan. Lalu antum dengan amalan seadanya itu minta dicarikan jodoh?” begitu ustadz tersebut berkata.

Mungkin maksudnya bagus, agar para binaannya meningkatkan kualitas diri dan kapasitas keilmuan mereka. Namun ada hal yang perlu diperhatikan bahwa meminta dicarikan calon isteri seorang muslimah yang sholihah melalui jalur resmi tarbiyyah merupaka salah satu bukti ihtimam (perhatian) dan komitmen di jalan da’wah. Jangan sampai keidealisan ustadz seperti diatas justru menghambat ‘ibadah yang harus disegerakan ini. Jika Rosululloh saja mensyari’atkan untuk menyegerakan nikah bagaimana bisa seorang ustadz justru berkeinginan untuk menundanya?


Bahkan semakin menjadi ‘masalah’ apabila para binaannya merasa diri mereka bukan ‘ikhwan sejati’ yang sangat tidak layak mendapat ‘akhowat’. Apalagi ketika keinginan sudah diutarakan dan tidak mendapat tanggapan malah mendapatkan cibiran seperti diatas. Semoga saja hal buruk yang seringkali terjadi tidak terjai lagi. Bisa saja karena mereka merasa tidak layak mendapat akhowat lantas mereka mencari perempuan biasa yang dirasa cocok secara zhohir tanpa diketahui kapasitas kefaqihannya dan keistiqomahannya dalam berislam. Belum lagi tentang komitmen untuk berda’wah dsb. Dan dari situlah timbul kholwat dan zina teknologi melalui SMS maupun facebook. Bahkan lama kelamaan akan menjurus kearah pacaran. Dan apabila proses pacaran sudah terjadi, maka saya yakin kegiatan pembinaan pekanan sedikit demi sedikit aka ditinggalkan. Ini bukan sekedar imajinasi kosong, tetapi pengalaman nyata selama saya berkubang di jama’ah tarbiyyah ini. Berapa banyak saudara yang dulu ikut ‘ngaji’ bareng namun sekarang tidak lagi membersamai.


Berkata Rosululloh SAW dalam Hadits yang diriwayatkan al-Baihaqqiy dari Anas ibn Malik:
“Barang siapa memiliki anak perempuan yang telah mencapai usia 12 tahun (usia baligh) kemudian ia tidak segera menikahkannya maka jika anak perempuan tersebut melakukan perbuatan dosa, dosanya akan ditanggung oleh sang ayah”.

Memang dalil diatas untuk ‘sang ayah’ dan dikhususkan untuk ‘anak perempuan’. Namun sebagai pengqiyasan bolehlah sedikit diubah redaksi haditsnya tanpa mengurangi maksud dari hadits tersebut.


“barang siapa memiliki binaan yang telah mencapai marhalah tertentu yang ihtimamnya terhadap da’wah tidak perlu diragukan lagi, kemudian ia tidak segera menikahkannya (mencarikan jodoh yang sesuai), maka jika binaannya tersebut berguguran di jalan da’wah dan melakukan dosa (pacaran dsb) maka dosanya akan ditanggung oleh ‘sang ustadz’”.
(bukan hadits)

Jika keinginan untuk nikah diawal waktu dihalangi, maka bagaimana kelak kita pertanggungjawabkan dihadapan Rosululloh akan tertundanya kelahiran mujahid-mujahidah tangguh pembangun peradaban? Bagaimana kita akan memperbanyak ummat Islam yang oleh Rosululloh dibanggakan karena jumlahnya yang banyak? Bagaimana kita akan PD berda’wah sementara dalam hal agama saja kita belum sempurna? Bagaimana kita akan mengaku mengikuti Rosululloh sementara sunnahnya belum kita tunaikan? Bagaimana kita bisa berharap merasakan nikmatnya surga jika nikmatnya berrumah-tangga saja belum kita rasakan? Ups…


Green Brigade, Jumat, 3 Mei 2013