Boleh berbeda dalam memahani fiqh namun ada hal-hal tertentu yang menyangkut aqidah dan ushul yang tidak boleh ada perbedaan didalamnya. Kita ketahui bersama akhir tahun lalu dikejutkan dengan 'pengucapan selamat natal' oleh salah seorang petinggi tarbiyah (anggota DPR PK*).
Banyak yang mengecam tanpa mengetahui bahwa beliau memiliki pandangan tersendiri terhadap sikapnya tersebut. Namun yang jelas, sikap tersebut bukanlah sikap resmi jamaah, yang jika jamaah menetapkan maka sikap tersebut akan mengikat. Jadi jika jamaah sudah menetapkan 'hukum'nya maka tidak boleh seorangpun keluar dari pandangan jamaah. Namun jamaah ini masih arif dalam memandang berbagai masalah, Membebaskan kader dalam berbagai sikap dan ijtihad masing-masing adalah sikap bijaksana mengingat banyak kader yang masih terikat dengan 'urf (budaya) setempat, maupun jamaah dan madzhab besar di Indonesia semisal Muhammadiyyah dan NU. Tidak bijak juga kalau, PK* membentuk mazhab baru, mazhab PK*.
Untuk menghindari salah presepsi tersebut, saya -ini pribadi dari saya- juga memiliki pandangan berbeda mengenai suatu hukum dalam Islam. Tidak ada maksud menampakkan khilaf (perbedaan), namun hanya sekedar bayan (penjelasan) sehingga jika kelak saya melakukan sikap yang berbeda dari jamaah saya tidak dianggap menyimpang, apalagi dianggap menyelesihi jamaah. Karena -sekali lagi- jamaah tidak pernah mengeluarkan pandangan mengikat (ilzam).
Banyak yang mengecam tanpa mengetahui bahwa beliau memiliki pandangan tersendiri terhadap sikapnya tersebut. Namun yang jelas, sikap tersebut bukanlah sikap resmi jamaah, yang jika jamaah menetapkan maka sikap tersebut akan mengikat. Jadi jika jamaah sudah menetapkan 'hukum'nya maka tidak boleh seorangpun keluar dari pandangan jamaah. Namun jamaah ini masih arif dalam memandang berbagai masalah, Membebaskan kader dalam berbagai sikap dan ijtihad masing-masing adalah sikap bijaksana mengingat banyak kader yang masih terikat dengan 'urf (budaya) setempat, maupun jamaah dan madzhab besar di Indonesia semisal Muhammadiyyah dan NU. Tidak bijak juga kalau, PK* membentuk mazhab baru, mazhab PK*.
Untuk menghindari salah presepsi tersebut, saya -ini pribadi dari saya- juga memiliki pandangan berbeda mengenai suatu hukum dalam Islam. Tidak ada maksud menampakkan khilaf (perbedaan), namun hanya sekedar bayan (penjelasan) sehingga jika kelak saya melakukan sikap yang berbeda dari jamaah saya tidak dianggap menyimpang, apalagi dianggap menyelesihi jamaah. Karena -sekali lagi- jamaah tidak pernah mengeluarkan pandangan mengikat (ilzam).
- Hijab dalam Muamalah Antara Pria dan Wanita. Bagi saya pribadi, hijab tidak wajib. Hukum yang wajibnya sebenarnya adalah Ghodhdh al-Bashor (menundukkan pandangan). Nashnya di surat an-Nur ayat 30 bagi laki-laki dan satu ayat sesudahnya bagi perempuan. Ayat itu jelas kewajiban bagi siapa saja yang beriman. Sedangkan dalil hijab yang banyak dipakai, surat al-Ahzab ayat 53 dan 59, silahkan baca sendiri. Ayat tersebut jelas-jelas menunjukkan kekhususan bagi isteri nabi. Toh kalau mau tetap tegas menerapkan dalil tersebut, seharusnya ketika jual beli kepada perempuan apakah juga harus melalui hijab? Apalagi ketika dosen perempuan mengajar, apalah sang dosen tersebut harus ditutup hijab? Namun, insya Alloh, jika rapat agenda ikhwah maupun kegiatan ADK/ADS memakai hijab adalah lebih menjaga diri (iffah).
- Hukm penegakan Khilafah (al-Imamah). Bagi saya ini hukumnya wajib. Berbagai diskusi yang berujung saling ejek antar harokah sering kali dimulai dari sini. Antara Salafy jihadi, JT, HTI, Tarbiyah aupun islam tradisionalis seperti NU dan Muhammadiyah. Padahal, petinggi mereka jarang terlibat debat, hanya anak muda baru ghiroh aja yang terlalu semangat saling menghinakan harokah satu dengan yang lain, dan merasa KAMMI atau HTI merekalah yang paling benar. Ironis memang, tiadanya sikap menghargai -'adamut-tasamuh- justru dialami oleh aktifis Islam. Dan gerakan toleransi malah dikumandangkan Barat? Padahal prinsip-prinsip tasamuh adalah milik Islam! Kembali ke nash. Bagi saya khilafah adalah wajib 'ain. Dakwah Islam tanpa ada tujuan menegakkan hukum-hukumnya sangat nonsense. Dan semua hukum Islam hanya akan tercapai dengan khilafah? mungkinkah demokrasi mampu memerintahkan berjihad dengan mengakomodir tentaranya? Atau mewajibkan hudud dan jinayah di negara demokrasi? Tidak. Demokrasi adalah tahapan. Tahapan menuju masa depan tegaknya Islam. Sedangkan konsep negara -bukan khilafah- juga sering dilisankan al-Quran. Seperti halnya Nabi Yusuf yang menjadi Menteri Keuangannya negeri Mesir (baca surat Yusuf). Atau nash qurany di juz 30 yang menjelaskan fungsi negara yaitu menghindarkan 'juu' dan 'khouf', sejahtera dan berkeadilan. Kesimpulannya, Khilafah memang idealnya, tetapi negara demokrasi bisa mengakomodir keberislaman kita. Saya tidak bisa membayangkan apabila semua warga negara islam golput, padahal pemilu tetap terjadi. Maka bersiap-siaplah pemimpinnya tidak akan pro terhadap Islam.
- Hukm berjabat tangan dengan wanita non mahrom. Pendapat saya berkesesuaian dengan pendapat seorang yang sangat faqih dan waro' Ustadz al-Mukarrom Hidayat Nur Wahid. Beliau adalah seorang doktor yang S1 sampai S3-nya di Arab Saudi. Namun beliau seringkali kedapatan berjabat tangan dengan non mahromnya. Nash yang menunjukkan haramnya jabat tangan dengan wanita di'illatkan dengan adanya syahwat. Sedangkan nabi tidak pernah menyentuh perempuan (ini riwayat dari 'Aisyah). Ini adalah sepengetahuan isteri beliau. Silahkan pelajari kembali haditsnya. Intinya berjabat tangan dengan non-mahrom selama tidak disertai syahwat tidak masalah. Saya justru heran seorang ikhwan yang tidak mau menyalami seorang nenek-nenek (ketika itu idul fithri) karena sikap demikian. Lalu sang nenek-nenek pun bertanya-tanya.
- Hukm penggunaan Bank Ribawiy (konvensional). Ulama' bersepakat bahwa memakan riba adalah haram, bahkan ancamannya tidak main-main: orang yang memakan riba adalah penghuni neraka dan KEKAL DIDALAMNYA. Baca al-Baqoroh 275. Nashnya tegas. Namun kita garis bawahi adalah humum Memakan riba. bukan menggunakan bank konvensional. Lalu apakah menggunakan bank konvensional selama tidak ikut mengambil bunganya adalah jaiz (boleh)? Kita lihat dalil sunnahnya diriwayatkan Bukhori dan Muslim (La'ana Rosululloh SAW aakilarriba wa mauqilahu wa katibahu wa syahidaihi. Qola hum sawaa'. Jadi sama saja hukumnya bagi pemakan riba, yang terkena riba, pencatatnya, saksinya. Jika pemakan riba saja mendapatkan jatah sebagai penghuni neraka maka yang lainnya?Namun berbeda dengan penggunaan Bank Ribawy untuk memudahkan kegiatan. Misalnya bank islamy sangat jauh sementara kebutuhan akan bank sangat mendesak dalam hal itu berlaku hukum dhoruroh. Sebagaimana dulu para ulama' sempat membolehkan hukumnya menggunakan bank ribawy ketika bank islamy belum menjamur. Dan saya juga masih memakai bank Mandiri yang jelas-jelas ribawi mengingat itu untuk kemudahan transaksi dan insya' Alloh saya tidak akan memakan bunganya. Namun apa yang dipelajari di fakultas Syariah sebuah kampus Islam yang mengajarkan hukum riba namun mewajibkan mahasiswanya menggunakan bank syariah (ketika registrasi dan pengambilan beasiswa). Asyaddu al-'uqubah 'alaihim? Wallohu a'lam.
- Rokok/dukhon. Pandangan saya sama dengan pandangan jamaah saya, Muhammadiyah. Hukumnya haram mutlaq, entah itu bagi pemuda, orang tua, terlebih bagi anak-anak. Dalil disamakan dengan mukhodzarot (yang menyebabkan kecanduan, misalnya narkoba). Jika narkoba dianggap haram kenapa rokok yang juga menyebagkan kerusakan syaraf dan menyebabkan ketagihan tidak diharamkan?
- Batasan pakaian muslimah. Setahu saya tidak ada nash yang mewajibkan muslimah menggunakan celana panjang atau menguluran jilbab sampai menjuntai hampir-hampir menyentuh lantai. Setahu saya batasannya: menutup aurat, tidak ketat maupun menampakkan lekuk tubuh, tidak tabarruj, menjulurkan sampai ke dada. Bahkan penggunaan kaos kali bagi muslimah menurut saya perlu ditinjau ulang pemwajibannya. Bagaimana bisa diwajibkan sementara nashnya tidak ada. Karena secara umum pakaiannyanya sudah dijulurkan sampai kebawah. Dan jika pakainan tersebut tersikap karena suatu hal maka itu diluar 'adah yang jika tampak maka diluar kemampuannya. Sangat sulit dibayangkan juga para perempuan di era Rosululloh SAW menggunakan kaos kaki padahal di zaman itu pakaian masih terbatas. Ini pendapat saya pribadi. Tapi saya juga masih lebih menggemari para muslimah yang menjaga dirinya dengan pakaian tertutup. Menggunakan kaos kali, baju yang menjuntai kebawah, dan jilbab lebar membuat muslimah lebih anggun.
- Tahlil, sholawat dan Yasin. Bagi saya pribadi hukmnya boleh. Bahkan sunnah jika dengan acara tersebut bisa mengakrabkan sesama muslim disuatu daerah yang jarang sekali masyarakatnya berkumpul. Dalilnya bukan tentang haramnya pengkhususan tahlil, sholawat maupun yasin. Tapi mengingat Alloh disetiap waktu, Qiyaman wa Qu'udan. Masalah yang sering terjadi adalah selamatan kematian di hari kesekian atau kesekian. Apakah boleh datang dan menyantap hidangannya? Ini tentu saja memberatkan. Jadi bid'ahnya disini, 'kalo harus gini nggak sah'. Dan apabila niat kita bukan menghadiri perayaan sekian hari tapi menghadiri undangan itu bisa jadi hukumnya bukan lagi bid'ah, namun alangkah baiknya jika di agenda tersebut diikuti juga dengan pencerahan agar agenda yang semacam ini tidak dicontohkan.